Dalam
studi pernaskahan Nusantara, genre surat sudah menjadi objek kajian
tersendiri yang telah menarik para peneliti untuk membahas kandungan
isi, iluminasi, bahasa dan aksara, mohor/cap, serta aspek historisnya.
Umumnya surat-surat Melayu dari abad ke-17 yang sekarang masih tersimpan
di beberapa perpustakaan di dunia dianggap cukup tua, meskipun tercatat
ada dua pucuk surat yang dikirim oleh Sultan Ternate yang masih kecil,
Bayan Sirullah, kepada Raja Portugal, John III, masing-masing bertarikh
1521 dan 1522 yang menurut C.O. Blagden [1] dan Annbel Teh Gallop [2]
(1994:120, 123) adalah naskah Melayu yang tertua di dunia. [3] Kedua
pucuk surat itu sekarang tersimpan di Arquivos Nacionais Torre do Tombo,
Cidade Universitaria, Lisabon, Portugal.
Dalam
artikel ini saya membahas sepucuk surat berusia hampir 350 tahun dari
Kerajaan Buton yang tersimpan di Perpustakaan Universitas
Leiden/Universiteitsbibliotheek Leiden (UB Leiden), Belanda, dengan kode
K.Ak.98 (4). [4] Surat tersebut, yang ditulis dalam bahasa Melayu dan
beraksara Arab-Melayu [Jawi]), sudah pernah dibicarakan oleh W.G.
Shellabear kurang dari 170 tahun yang lalu bersama sejumlah naskah
Melayu lainnya dari abad ke-16 dan 17 yang tersimpan di beberapa
perpustakaan di Inggris dan Belanda, [5] namun mungkin tak banyak
diketahui di Indonesia.
Sejauh
yang saya ketahui, K.Ak.98 (4) adalah surat dari Kerajaan Buton yang
tertua yang masih terselamatkan sampai sekarang. Dari kodenya dapat
diketahui bahwa surat itu tidak termasuk koleksi naskah-naskah Nusantara
yang dihadiahkan oleh para pemilik naskah semula—seperti Van der Tuuk, C. Snouck Hurgronje, dll.—yang biasanya dalam koleksi khusus (bijzonder collecties) UB Leiden dicatat dengan kode Or (singkatan dari Orientalis).
Rupanya K.Ak.98 termasuk dalam koleksi naskah-naskah milik beberapa
orang kolektor yang sudah meninggal atau suatu lembaga yang statusnya dipinjamkan atau dititipkan di UB Leiden (loan-collections). Dua di antara loan collections
itu adalah naskah-naskah milik De Koninklijke Nederlandse Akademie van
Wetenschappen (disingkat KNAW) yang diberi kode K.Ak.) yang ditempatkan di
UB Leiden sejak tahun 1856 dan koleksi milik Het Nederlandsch
Bijbelgenootschap (NBG) [6] . Jelas bahwa K.Ak.98 (4) berasal dari
koleksi KNAW (yang dikenali dari kata `Acad` pada naskah-naskahnya).
Menurut informasi sebuah katalog, K.Ak.98 (4) adalah:
Epistola
Malaïca (2 [7] ) praetoris navalis Boetonensis, Laut, mense Oct. a.
1669 ad eumdem missa. Excusat se, quod, bello finito, Bataviae non
comparuit, quippe morte Radjae Boetoni impeditus. [8]
Terjemahannya:
Surat
dalam bahasa Melayu oleh Komandan Laut [Kapitalao] Buton, Laut, bulan
Oktober 1669, dikirimkan kepada orang yang sama [Gubernur Jenderal VOC,
Joan Maetsuycker]. Ia [Kapitalao] sendiri mohon maaf atas
ketidakhadirannya di Batavia setelah perang [antara VOC dan Gowa]
berakhir karena ia dicegah untuk pergi [ke Batavia] disebabkan oleh wafatnya Raja Buton.
Rupanya
ada sepucuk surat lagi dari Buton dalam bundel K.Ak.98, yaitu nomor 5,
tapi hanya terjemahan Belandanya saja yang tersedia, sedangkan surat
aslinya tidak ditemukan lagi. Menurut P. de Jong, K.Ak.98 (5) adalah:
Versio
Belgica epistole Malaïcae a Sultano Boetoni, ao 1670 scriptae ad
eumdem. Sultanus queritur de tumultu, in urbe Boeton exorto, et a
Gubernatore auxilium petit. [9]
Terjemahannya:
Terjemahan
bahasa Belanda atas surat dalam bahasa Melayu dari Sultan Buton,
ditulis pada tahun 1670 kepada orang yang sama [maksudnya: Gubernur
Jenderal VOC, Joan Maetsuycker]. Sultan mengeluh tentang kerusuhan yang
pecah di kota Buton [Bau-Bau] and memohon bantuan kepada Gubernur
[Jenderal untuk mengatasinya].
Artikel
ini tidak membahas K.Ak.98 (5) karena saya masih memerlukan waktu dan
bantuan banyak pihak untuk membaca terjemahan surat tersebut yang
ditulis dalam bahasa Belanda abad-17 yang orang Belanda masa kini saja
banyak yang tidak mampu membacanya. Dengan demikian fokus pembicaraan
saya dalam artikel ini hanyalah surat yang pertama saja: K.Ak.98 (4).
Walaupun
W.G. Shellabear (1898) telah menyajikan versi ketik ulang K.Ak.98 (4)
dalam aksara Jawi, transliterasi Latinnya (dengan memakai sistem
pelafalan menurut dielek Melayu Semenanjung Malaysia) dan terjemahannya
dalam bahasa Inggris, saya kira tetap ada manfaatnya menyajikan kembali
transliterasi K.Ak.98 (4) dalam artikel ini. Saya menyajikan
transliterasi K.Ak.98 (4) dalam bahasa Indonesia, mengikut kaidah Ejaan
Yang Disempurnakan (EYD) dan melengkapinya dengan foto digital naskah
aslinya serta pembicaraan yang lebih rinci mengenai konteks
sosio-historis surat itu yang tidak dibahas secara mendalam oleh
Shellabear. Lagipula, publikasi Shellabear yang sudah klasik itu, dan
ditulis dalam bahasa Inggris, mungkin cukup sulit ditemukan di
Indonesia. Hal ini menjadi pertimbangan pula bagi saya untuk
memperkenalkan kembali naskah asli dan transliterasi K.Ak.98 (4) dalam
artikel ini, dengan tujuan utama pembaca di Indonesia.
Berikut adalah transliterasi (alih aksara) K.Ak.98 (4).
Transliterasi K.Ak.98 (4)
/1/
[10] Bahwa surat ini pada menyatakan tulus dan ikhlas daripada Paduka
Sahabat Kaicil Jitangkalawu [11] , Kapiten /2/ Laut Buton, menyampaikan
tabe banyak2 datang kepada Paduka Sahabat Heer Gurnadur Jenral Yohan /3/
Metsyaker [12] yang memegang kuasa Kompanyi dalam kota Betawih, akan
memerintahkan segala pekerjaan Kompanyi /4/ serta dengan segala
sahabatnya raja2 dari bawah angin. Maka dianugrahkan Allah Subhanahu
wataala bertambah2 /5/ kebajikan dalam dunia dan yang diterangkan
hatinya, maka kharijlah segala akal budi bicaranya /6/ yang baik dan
menolong daripada orang yang kena kesukaran dan yang mengetahui daripada
hati orang, /7/ maka termasyhurlah dari atas angin dan di bawah angin
yang memujikan harapnya lagi budiman /8/ serta dengan bijaksanaannya dan
ialah meneguhkan setianya perjanjian pada segala raja2, tiada akan /9/
berubah2 lagi demikian itu, maka dipanjangkan Allah umur dan selamat dan
berkat supaya kita /10/ bersahabat, Ternate serta Buton dan Kompanyi,
agar jangan bercerai-cerai selama-lamanya.
Adapun
kemudian /11/ dari itu bahwa sahabat Kapiten Laut memeri maklum kepada
Gurnadur Jenral tatkala disuruh oleh /12/ sahabat Raja Buton, kami
mengiringkan Paduka Sri Sultan Ternate sama2 mengikut pada Amiral /13/
Cornelis Speelman ke Tanah Mengkasar supaya kami mengerjakan kerja kita,
hanya maklumlah Kapiten /14/ Laut apabila kuasa Kompanyi serta dengan
kuasa Allah akan menyudahi daripada pekerjaan kita hendaklah /15/
Kapiten Laut menunjukkan muka pada Heer Gurnadur Jenral juga supaya
puaskan hati. Tetapi /16/ pada sekarang ini Admiral pulang ke Jakatra,
hanya Tuan kami Raja Ternate lagi duduk dari Mengkasar, maka /17/
sahabat Kapiten Laut pun duduk sama2 dengan Tuan kami Raja Ternate.
Seperkara
pula, ada<pun [13] > raja /18/ Buton pun sudahlah pulang ke
rahmatullah, kembali daripada asalnya, meninggalkan dunia mengadap ke
Negeri /19/ akhirat, sebab itulah maka sahabat Kapiten Laut tiada jadi
pergi ke Jakatra menunjukkan muka kepada /20/ Heer Gurnadur Jenral di
Betawi, karena adat kami demikian itu apabila raja yang mati /21/ upama
seperti datang hari kiamat, jadilah haru biru dalam negeri itu. Oleh
pada pikir /22/ Sahabat Kapiten Laut baiklah kami sama2 dengan r [14]
Tuan Raja Ternate duduk lagi di Mengkasar. /23/ Ampun2 seribu ampun
kepada Sahabat Heer Gurnadur Jenral juga, tiada ada cendera mata /24/
pada sesuatu kepada Heer Jenral melainkan budak laki dua orang akan
tanda tulus dan ikhlas /25/ juga, upamanya seperti dua biji
sawi, jangan diaibkan. Karena Sahabat Kapiten Laut /26/ orang yang
bebal lagi daif mengatur perkataan surat ini, maka jikalau ada salah pun
melainkan /27/ maaf juga kepada Heer Gurnadur Jenral. Tamat.
Tertulis
dalam Benteng Parinringa yang bedekatan dengan kota Rotterdam dualapan
[15] sembilan [16] likur hari dari bulan Jumadilawal pada tahun Jim
hijrat al-Nabi Salallahu alaihi wasalam seribu dualapan puluh genap.
[17]
Bahasa K.Ak.98 (4): Catatan ringkas
Ketuaan
K.Ak.98 (4) dapat dikesan dari beberapa kata yang memang jarang
ditemukan dalam surat-surat Melayu pada masa yang lebih kemudian. Kata `Kompanyi`
(maksudnya VOC, Verenigde Oost-Indische Compagnie) jelas menunjukkan
ketuaan surat ini. Ini adalah bentuk yang lebih arkais dari kata `Kompeni` yang lebih banyak dipakai dalam surat-surat Melayu yang berasal dari abad yang lebih belakangan (abad ke-18 dan 19).
Setidaknya ada beberapa kata lagi yang menunjukkan ketuaan surat ini. Kata `jenral` pada `Gurnadur Jenral` juga sering dipakai dalam surat-surat Melayu dari abad ke-17, tetapi cenderung berubah menjadi `jendral` (atau `jenderal`) dalam surat-surat Melayu dari abad-abad sesudahnya (abad ke-18 dan 19); demikian juga kata `amiral` (pangkat kemiliteran; dalam konteks surat ini disebut nama `Amiral Speelman`) yang dari abad-abad sesudahnya sering ditulis `admiral`. Kata `Jakatra`—nama
lain untuk Betawi (Batavia) yang sekarang bernama Jakarta—amat jarang
ditemukan dalam surat-surat Melayu abad ke-18 dan 19; kata itu justru
muncul dalam beberapa surat Melayu dari periode yang lebih awal, seperti
dalam K.Ak.98 (4) ini.
Kata `memeri` (untuk bentuk dasar `beri`)
cukup terkesan arkais juga, walaupun sebenarnya dalam periode yang
lebih belakangan (abad ke-18 dan 19) bentuk ini masih dipakai dalam
naskah-naskah Melayu, termasuk surat-surat, dari wilayah tertentu di
Nusantara. Tentu saja cukup mengherankan pula bahwa kota yang sekarang
disebut `Makassar` dalam surat-surat raja-raja lokal dari Indonesia timur pada abad ke-16 sampai awal abad ke-20 selalu ditulis `Mengkasar`. Saya belum tahu kapan terjadi perubahan pelafalan ini dan apa penyebabnya. Namun, menurut dugaan saya, pelafalan `Makassar`
seperti dikenal sekarang mungkin didasarkan atas dokumen-dokumen
Belanda dari zaman kolonial, bukan berdasarkan penulisan yang ditemukan
dalam dokumen-dokumen pribumi seperti surat-surat Melayu dari raja-raja
lokal tersebut.
K.Ak.98 (4)
Sumber: Koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden
Konteks Kesejarahan K.Ak.98 (4)
Setelah membaca alih aksara K.Ak.98 (4) yang tersaji di atas, dapat diketahui bahwa penulis surat ini menyebut dirinya “Paduka Sahabat Kaicil Jitanggalawu, Kapiten Laut Buton”. Surat ini ditujukan kepada “Paduka Sahabat Heer Gurnadur Jen[d]ral Yohan Metsyaker yang memegang kuasa Kompanyi dalam kota Betawi(h)”. Jelas maksudnya adalah Gubernur Jenderal VOC ke-12, Joan Maetsuycker (1653-1678; lihat catatan 12).
Jelas
bahwa K.Ak.98 (4) ditulis tak lama setelah Gowa dikalahkan oleh VOC di
bawah pimpinan Cornelis Speelman. [18] Isi surat ini cukup menggambarkan
posisi politik Buton selepas Perjanjian Bongaya (1667) melalui mana VOC berhasil menekan ambisi politik Kerajaan Gowa yang sering menginvasi kerajaan-kerajaan tetangganya, termasuk Buton.
Isi K.Ak.98 (4) antara lain menyebutkan: “[S]ahabat
Kapiten Laut [Buton] mem[b]eri maklum kepada Gurnadur Jen[d]ral tatkala
disuruh oleh Sahabat Raja Buton kami mengiringkan Paduka Sri Sultan
Ternate sama2 mengikut pada A[d]miral Cornelis Speelman ke Tanah
Mengkasar supaya kami mengerjakan kerja kita”.
Jadi, Kapiten Laut (Kapitalao)
Buton itu mewakili Sultan Buton, rajanya, yang tampaknya tidak bisa
datang ke Makassar untuk bertemu dengan Cornelis Speelman, Admiral VOC
yang telah berhasil menaklukkan Gowa dan menjadikan kekuatan politik VOC
bercokol lebih kuat di Indonesia timur.
Sejarah mencatat bahwa setelah Perjanjian Bongaya
ditandatangani, Buton menjadi bebas dari tekanan Gowa dan jadi dekat
dengan Ternate yang menjadi saingan Gowa. Tetapi sebagai imbalannya “hendaklah Kapiten Laut [Jitanggalawu] menunjukkan muka [ke]pada Heer Gurnadur Jen[d]ral juga supaya puaskan hati”
Gubernur VOC itu. Walaupun pengancam regional, Gowa, sudah dikalahkan
oleh VOC, hubungan antara Ternate dan Buton tidak selalu baik.
Selanjutnya
K.Ak.98 (4) menceritakan bahwa Admiral Speelman kembali ke Jakatra
(nama yang lebih awal untuk kota Batavia, biasa ditulis `Jacatra` dalam dokumen-dokumen Belanda dari abad ke-16 dan 17), sementara “Sahabat Kapiten Laut [Jitanggalawu] pun duduk sama2 dengan Tuan […] Raja Ternate” di Makassar. Tidak disebutkan nama Raja Ternate itu, tapi kemungkinan besar adalah Sultan Mandarsyah (1645-1675) [19] .
Penyebab batalnya Kapitalao Jitanggalawu pergi ke Batavia jadi jelas menjelang akhir surat ini: karena “Raja Buton [...] pun sudahlah pulang ke rahmatullah, kembali daripada asalnya, meninggalkan dunia mengadap ke negeri akhirat”, sebab itulah ia urung “pergi ke Jakatra menunjukkan muka kepada Heer Gurnadur Jen[d]ral di Betawi”, karena dalam adat Buton “apabila raja yang mati u[m]pama seperti datang hari kiamat, jadilah haru biru dalam negeri.”
Jadi,
tampaknya Kapitalao Jitanggalawu tidak berani pergi jauh ke
Batavia/Jakatra karena Rajanya baru saja mangkat. Kutipan di atas juga
menggambarkan bagaimana reaksi masyarakat Buton masa lampau jika raja
mereka meninggal: seluruh lapisan masyarakat berkabung dan hari mereka
berada dalam kesedihan yang mendalam. Abdullah bin Muhammad al-Misri
dalam karyanya, Hikayat Raja-Raja Siam (1823 atau 1824) menggambarkan
kebiasaan yang berlaku di kerajaan-kerajaan lokal di Indonesia timur
pada masa lampau apabila seorang raja mangkat:
Sebermula
adapun raja-raja di tanah Bugis dan Ternate dan tanah sebelah timur,
apabila ada raja-raja itu mati, maka berkeliling segala perempuan yang
baik rupanya dan suaranya memegang kipas, maka bersyair menembang itu
berpuluh-puluh hari, maka baru ditanam, dan tetapi tiada dibakar seperti
[di] Siam dan Bali, maka inilah dikata ada lagi agama Hindu kepada
segala negeri bawah angin ini dan banyak lagi orang yang menyembah yang
lain daripada Allah taala. [20]
Catatan
Abdullah bin Muhammad al-Misri di atas merefleksikan pengamalan unsur
kepercayaan pra-Islam di kalangan penduduk kerajaan-kerajaan lokal di
Indonesia timur pada abad ke-17, ke-18, dan ke-19, termasuk Buton. Dalam
kebudayaan masyarakat Buton masa lampau, bahkan sampai pada periode
yang belum lama berselang, sinkretisme antara kepercayaan yang lebih
kuno dengan Islam yang datang kemudian begitu kuat. [21]
Siapakah
gerangan Raja Buton yang mangkat yang disebutkan dalam K.Ak.98 (4)?
Sebelum membahas itu, baiklah saya kutip alih aksara kolofon surat
tersebut: “Tertulis dalam Benteng Parinringa yang be[r]dekatan dengan kota Rotterdam dua lapan (<sembilan>; kata sisipan, Suryadi) likur hari dari bulan Jumadil Awal pada tahun Jim hijrat al-Nabi Salallahu alaihi wassalam seribu dua lapan puluh genap”.
Jadi,
K.Ak.98 (4) ditulis di Benteng Parinringa, dekat Benteng Rotterdam di
Makassar, pada 8 (atau 9) Jumadilawal 1080 H”. Jika dikonversikan ke
tahun Masehi: 8 Jumadilawal 1080 H = 4 Oktober 1669; 9 Jumadilawal 1080 H
= 5 Oktober 1669. Kata “sembilan” disisipkan
belakangan, tampaknya ada kesalahan penulisan tanggal, lalu dibetulkan.
Jadi, sangat mungkin tanggal penulisan surat ini adalah 5 Oktober 1669
(lihat catatan 17).
Dengan
demikian, sangat mungkin Raja Buton yang diberitakan mangkat oleh
Kapitalao Jitanggalawu dalam suratnya itu adalah La Simbata atau Sultan
Adilil Rakhiya (1664-1669), Sultan Buton ke-10. Nama lain beliau adalah
Mosabuna I Lea-Lea. Beliau turun tahta karena melepaskannya, bukan
meninggal atau dikudeta. Sultan Adilil Rakhiya digantikan oleh Sultan
Kaimuddin atau La Tangkaraja (1669-1680). [22]
Sultan
Adilil Rakhiya mangkat di tahun-tahun awal kekuasaan Sultan Kaimuddin,
penggantinya, tidak lama setelah kerusuhan di Wasongko dan Lasadewa
akibat kasus Sapati Kapolangku yang menimbulkan terjadinya
kesalahpahaman antara Ternate Buton. [23] Jika kita merujuk lagi kepada
kolofon K.Ak.98 (4), maka dapat diperkirakan bahwa Sultan Adilil Rakhiya
(La Limbata) mangkat sebelum bulan Oktober 1669.
Sampai batas tertentu, kolofon K.Ak.98 (4) juga memberi petunjuk tentang wewenang dan kekuasaan seorang kapitalao Buton. Rupanya dalam keadaan darurat, kapitalao boleh menulis surat dari tempat yang jauh dari Istana Buton. Kapitalao, bersama dengan jurubahasa (jurubasa) sering mewakili sultan apabila hendak berhubungan dengan pihak-pihak luar seperti Belanda dan Inggris. [24]
Surat
Kapitalao Jatinggalawu (K.Ak.98 (4)) diakhiri dengan penutup yang
menyebut hadiah dua orang budak laki-laki yang dipersembahkan kepada
Gubernur Jenderal Maetsuycker. Ungkapan “upamanya seperti dua biji sawi”
(baris 25) yang dipakai dalam surat itu, yang mengandung nada merendah,
adalah salah satu ciri khas surat-surat Melayu lama. Namun, ungkapan
merendah ini berbeda-beda redaksinya antara satu surat dan surat lainnya
yang berasal dari daerah yang berbeda di Nusantara. [25]
Demikianlah
sedikit ulasan mengenai teks dan konteks K.Ak.98 (4). Diharapkan apa
yang telah diuraikan dalam artikel ini dapat menambah informasi mengenai
masa lampau negeri Buton. Menurut saya, alangkah bagusnya kalau surat
Buton yang cukup tua ini direproduksi dan hasil repronya dapat disimpan
di salah satu museum di Bau-Bau atau di Museum Propinsi Sulawesi Tenggara.
Akhirnya artikel ini saya tutup dengan mengutip kata-kata Kapitalao Jitanggalawu di akhir suratnya: “Sahabat [Suryadi] orang yang bebal lagi daif mengatur perkataan [dalam artikel ini]. Maka jikalau ada salah pun melainkan maaf juga [dimohon] kepada [sidang pembaca www.Melayuonline.com]. Tamat.
Kepustakaan:
Abdul Mulku Zahari, Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton), Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977.
Bladgden, C.O. “Two Malay letters from Ternate in the Moluccas, written in 1521 and 1522”, dalam Bulletin of the School of Oriental Studies, London: University of London 6 (1930-1932), hlm. 87-100.
Chambert-Loir,
Henri, Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah, Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia & École Franęaise d`Extrême-Orient.
De
Jong, P., Catalogus Codicum Orientalium Bibliothecae Academiae Regiae
Scientarium, Lugduni Batavorum: E.J. Brill & Academiae Typographus,
1862.
Gallop, Annabel The, The Legacy of Malay Letter; Warisan Warkah Melayu, London: The British Library, 1994.
Monique Zaini-Lajoubert, Karya Lengkap Abdullah bin Muhammad al-Misri, Jakarta: École Franęaise d`Extrême-Orient.
Muridan
Widjojo, “Cross-Cultural Alliance-Making and Local Resistence in Maluku
During the Revolt of Prince Nuku, c.1780-1810, PhD Dissertation, Leiden
University, 2007, hlm. 262.
Proudfoot, Ian, Old Muslim calendar of Southeast Asia, Leiden-Boston: Brill, 2006.
Schoorl, Pim, Masyarakat, Sejarah, dan Budaya Buton, Jakarta: Djambatan, 2003.
Shellabear,
W.G., “An account of some of the oldest Malay MSS. Now extant”, dalam
Journal of the Straits Branch of the Royal Asiatic Society 31, 1898,
hlm. 107-151.
Skinner,
C. (ed.), Syair Perang Mengkasar; Sebuah Reportase Sastrawi Bergaya
Melayu dari Jurutulis Sultan Hasanuddin tentang Kejatuhan Salah Satu
Kerajaan Besar di Abad XVII, a.b: Abdul Rahman Abu, Makassar:
Ininawa-KITLV, Jakarta, 2008.
Suryadi,
“Surat-surat Sultan Bima Abdul Hamid kepada Kompeni Belanda, koleksi
Universiteitsbibliotheek Leiden”, Makalah dalam Simposium Internasional
Pernaskahan Nusantara XI, Bima-Nusa Tenggara Barat, 26-28 Juli 2007.
_______,
“Surat-surat Sultan Buton, Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I, koleksi
Universiteitsbibliotheek Leiden, Belanda”, dalam Jurnal Humaniora, Vol.
19, No.3, Oktober 2007, hlm. 284-285.
_______,
“Warkah-warkah Sultan Buton Muhyiuddin Abdul Gafur kepada Kompeni
Belanda, koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden”, Jurnal Sari 25, 2007,
hlm. 189.
Uli Kozok, Kitab Undang-undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua, Jakarta: Yanassa & Yayasan Obor Indonesia, 2006.
van
Putten, L.P., Gouverneurs-generaal van Nederlands-Indië, Deel 1:
ambitie en onvermogen: 16-10-1796, Rotterdam: ILCO-Productions, 2002.
__________
Suryadi adalah dosen dan peneliti pada Faculteit Geesteswetenschappen, Universiteit Leiden, Belanda, Email:
Dipublis http://melayuonline.com 25 Mei 2009